Pages

Thursday, September 04, 2014

PERAN DAN FUNGSI GURU SEBAGAI PENDIDIK



Kegiatan belajar 1
HAKIKAT PENDIDIKAN
Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari hakikat manusia, sebab subjek utama pendidikan adalah manusia. Pemahaman guru tentang manusia akan mempengaruhi pendekatan yang digunakannya dalam melaksanakan misi tugas kependidikan sebagai guru. Implikasi dari pandangan ini bahwa seorang guru harus memahami dan menguasai teori ilmu yang mempelajari manusia (psikologi), teori ini akan menjelaskan fenomena, prilaku manusia dan memberi makna atas fenomena perilaku tersebut.
Secara psikologis, manusia diciptakan tuhan dengan segenap potensi, yang akan menjadi modal dasar bagi perkembangannya. Potensi tidak akan berarti tanpa adanya upaya kondusif dari lingkungan. Berbagai penelitian para ahli psikologi dan pendidikan menunjukkan bahwa potensi bawaan dan lingkungan sama pentingnya dalam kehidupan manusia. Pendidikan pada hakikatnya sebagai upaya pengembangan potensi individu secara optimal dengan memberdayakan potensi lingkungan sebagai fasilitator terjadinya perkembangan. Upaya ini memiliki tujuan yang jelas dan terarah, manusiawi, normative, dan terjadi sepanjang hayat, baik dilingkungan keluarga,sekolah / madrasah, maupun dimasyarakat.
Dalam menjalankan misi tugasnya sebagai fasilitator terjadinya perkembangan optimal potensi individu, guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis, dalam konteks pendidikan yang lebih luas maupun dalam konteks yang terbatas (konteks pengajaran). Peran guru yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai motivator, suri teladan, dan pengarah para peserta didik dan anggota masyarakat dalam menjalankan proses pendidikan.
Teori pendidikan dapat diartikan sebagai pendapat sistematis untuk menerangkan dan menjelaskan fenomena kehidupan (pamantung, 1988 : 2). Artinya fenomena kependidikan dapat dijelaskan dan dimaknai oleh teori pendidikan. Karena objek utama pendidikan adalah manusia, terutama fenomena prilakunya, untuk menjelaskan fenomena ini diperlukan teori – teori ilmu yang mempelajari prilaku manusia atau psikologi.


A.    PSIKOLOGI KOGNITIF
1.      Konsep Dasar
Menurut teori ini pendidikan merupakan proses pengembangan tahap demi tahap perkembangan kognitif individu.
Salah satu tokoh aliran kognitivisme yang paling berpengaruh pada praktik pndidikan adalah jean piaget. Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget membagi proses perkembangan fungsi – fungsi dan prilaku kognitif kedalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan memunculkan karateristik yang berbeda- beda.
Tahap perkembangan kognitif itu sebagai berikut:
a.    Periode sensori motor (0,0-2;0)
Ditandai dengan penggunaan sensor motorikPrestasi yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang objek, control skema, kerangka berfikir pembentukan pengertian, dan pengenalan hubungan sebab akibat. prilaku kognitif yang tampak antara lain:
1)   Menyadari dirinya berbeda dari benda – benda lain di sekitarnya.
2)   Sensitif terhadap rangsangan suara dan cahaya.
3)   Mencoba bertahan pada pengalaman – pengalaman yang menarik.
4)   Mendefinisikan objek / benda dengan memanipulasinya
5)   Mulai memahami ketepatan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
b.    Periode praoperasional (2,0-7;0)
Periode ini terbagi atas 2 tahapan, yaitu: prakonseptual (2;0 – 4,0) ditandai dengan cara berfikir yang transduktif (menarik kesimpulan) tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal khusus. Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egosentris.
Prilaku kognitif yang tampak antara lain:
1)   Self – centered dalam memandang dunianya.
2)   Dapat mengklasifikasikan objek - objek atas dasar satu ciri yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya.
3)   Dapat melakukan koleksi benda – benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu.
4)   Dapat menyusun benda – benda, tetapi belum menarik inferensi dari dua benda yang tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
c.    Periode operasional konkret (7; 0 - 11atau 12;0)
Tiga kemampuan dan kecakapan baru yang menandai periode ini adalah mengklasifikasikan angka – angka atau bilangan. Prilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah – kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek – objek yang bersifat konkret.
d.    Periode operasional formal (11; 0 atau 12;0 – 14 atau 15;0)
Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah – kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek – objek yang bersifat konkret. Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
1)   Kemampuan berfikir hipotesis – deduktif.
2)   Kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan.
3)   Kemampuan mengembangkan suatu proposi atas dasar propersi – proporsi yang diketahui.
4)   Kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai kategori objek yang beragam.
                                                                               
2.    Implikasi dalam pendidikan
Menurut piaget (William C Crain,1980:98) adalah benar bahwa belajar tidak harus berpusat pada guru, tetapi anak harus lebih aktif. Kesadaran anak akan keterlibatannya dalam proses pembelajaran perlu diarahkan guru.
Teori piaget juga mengisyaratkan bahwa kemampuan berpikir anak dengan orang dewasa itu berbeda . implikasinya bahwa sekuensi (urutan) bahan pembelajaran dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama. Anak akan sulit memahami bahan pelajaran jika sekuensi bahan pelajaran itu meloncat – loncat. Implikasi dan teori piaget lainnya bahwa dalam proses pembelajaran, guru harus memperhatikan tahapan perkembangan kognitif peserta didik. Materi yang dirancang sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif itu dan harus meransang kemampuan berpikir mereka.
Tahap kemampuan berpikir sensori motorik mengimplikasikan bahwa proses belajar harus mencapai kerangka dasar kemampuan berbahasa, hubungan tentang objek, kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, dan pengenalan hubungan sebab akibat. Ini berarti bahwa orang tua atau lingkungan harus memberikan rangsangan yang banyak terhadap bayi. Tahap kemampuan berpikir praoperasional ditandai dengan berpikir anak yang bersifat egosentris – simbolis. Implikasi dalam proses belajarnya ialah belajar harus berpusat pada anak karena anak melihat sesuatu berdasarkan dirinya sendiri, metode yang paling tepat adalah metode bermain.tahapan perkembangan berpikir praoperasional ini terutama terjadi pada anak usia TK.
Tahap kemampuan berpikir operasional konkret ditandai oleh kemampuan anak untuk mengoperasikan kaidah – kaidah logika, meskipun masih terikat oleh objek – objek bersifat konkret. Tahap ini umumnya dialami anak SD. Tahap kemampuan berfikir formal mengimplikasikan bahwa anak melalui proses belajar mengajar harus mampu menemukan sendiri, memecahkan masalah sendiri, bahkan berpikir menurut konsep sendiri. Mencari dan menemukan (inquiri - discovery), metode logika yang tinggi ini sudah bisa digunakan dalam proses belajar mengajar.
B.       PSIKOLOGI HUMANISME
1.        Konsep Dasar
Aliran ini antara lain Maslow dan Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969). aliran psikologi humanisme ini memandang bahwa prilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh faktor internal dirinya dan bukan oleh lingkungan ataupun pengetahuan. Dalam istilah William C. Crain (1980:4) paham ini disebut dengan istilah preformasinisme. Aliran ini didasari oleh teori kebutuhan dan perkembangan motivasi tokoh psikologi
Menurut aliran humanisme, aktualisasi ini merupakan puncak perkembangan individu. Aliran humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri individu. Menurut aliran ini proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik.
Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969) mengemukakan prinsip – prinsip belajar sbb:
a.    Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru.
b.    Belajar akan bermakna apabila materi yang dipelajari relevan dengan kebutuhan anak.
c.    Belajar harus diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman eksternal.
d.   Belajar atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik faktor internal maupun personal.
e.    Sikap mandiri, kreativita, dan percaya diri diperkuat dengan penilaian atas diri sendiri.
2.    Implikasi dalam pendidikan
Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan peran dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai pusat proses pembelajaran, tetapi yang terpenting adalah menfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Proses pembelajaran lebih diarahkan kepada perkembangan kognitif, afektif, ataupun psikomotorik peserta didik, daripada penekanan pada aspek isi dan informasi yang dipelajari. Menurut roopnanire dan Johnson (1993), pendekatan yang sangat bermakna ialah pendekatan nonakademik.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan berarti ia harus pasif, akan tetapi justru harus berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran. Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969) menegaskan bahwa dalam proses pembelajaran, guru berperan aktif dalam hal:
a.    Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap pembelajaran.
b.    Membantu peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar.
c.    Membantu peserta didik mengembangkan dorongan dengan tujuannya sebagai kekuatan pembelajaran.
d.   Menyediakan sumber – sumber belajar.
Belajar bermakna akan terjadi relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik, dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermkna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik tentang bidang studi tertentu.
Untuk terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna, Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969) menyarankan:
a.    Terimalah peserta didik apa adanya.
b.    Kenali dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri.
c.    Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memilih dan menggunakannya.
d.   Gunakan pendekatan inquiry – discovery
e.    Tekankan pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik menggambil tanggung jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya.

C.  PSIKOLOGI BEHAVIORISTIS
1.        Konsep Dasar
Tokoh aliran ini antara lain thorndike,B.F, skinner dan J.B Watson (William C Crain, 1980), paham aliran ini memandang perilaku manusia sebagai hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan.. Pendidikan dianggap sebagai pembentukan perilaku manusia.
Perilaku menurut pendekatan ini adalah hal – hal yang berubah dan dapat diamati. Perilaku terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif antara stimulus dan respons (S - R). menurut aliran ini belajar akan menampakan hasil yang dapat diamati dan diukur. Belajar itu sendiri dimodifikasi oleh lingkungan. Proses belajar terjadi dengan adanya tiga komponen pokok, yaitu; stimulus, respon, dan akibat.
Reinforcement (penguatan) menjadi prinsip utama dalam memperkuat lekatnya hasil belajar pada diri individu. Akan tetapi ketika memberikan penguatan harus diwaspadai yang disebut dengan tricky matter, yaitu proses pemberian penguatan yang keliru, tidak sesuai dengan tujuan utama penguatan itu sendiri.

2.    Implikasi dalam pendidikan
Proses pembelajaran yang berpegang teguh pada prinsip dan pemahaman aliran behaviorisme menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademik maupun perilaku sosial sebagai hasil belajar. Pendekatan yang digunakan dalam proses belajar adalah pendekatan akademik, yang menekankan pada penguasaan secara tuntas (mastery) terhadap apa – apa yang dipelajari. Tujuan pendidikan ditentukan oleh guru sebagai lingkungan, sehingga bersifat eksternal.
Hasil belajar akan lebih bermakna jika prosesnya menyenangkan peserta didik dan terjadi penguatan (reinforcement) . menurut William C Crain (1980:9) guru, orang tua, dan pendidik harus memberikan penguatan terutama yang bersifat psikologis dan menghindari penguatan yang lebih bersifat kebendaan. Sedangkan  penghargaan (rewards) seharusnya diberikan hanya kepada perilaku yang masuk akal (reasonable) dan tidak bersifat memanjakan. Hindari hukuman (punishment) yang bersifat fisik. Kurikulum yang berorientasi pada aliran behaviorisme harus sudah menggambarkan perincian tentang apa – apa yang hendak disajikan kepada peserta didik.



Kegiatan Belajar  2
PERAN, TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB
GURU SEBAGAI PENDIDIK DAN PENGAJAR

A.      Guru Sebagai Pendidik dan Pengajar
Abin syamsudin (1997 : 18) membedakan peranan, tugas, dan tanggung jawab guru sebagai pendidik (educator) dengan pengajar (teacher). Dalam arti yang luas, guru dikatakannya sebagai pendidik. Konsep pendidik mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, nonformal, maupun informal, dalam rangka mewujudkan dirinya sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal sehingga mencapai suatu tahap kedewasaan. Dalam konteks ini, seorang guru bertugas dan berperan sebagai:
             1.     Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan innovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan.
             2.     Transmitor (penerus) sistem – sistem nilai tersebut kepada peserta didik.
             3.     Transformator (penerjemah) sistem – sistem nilai melalui penjelmaan dalam pribadi dan prilakunya melalui proses interaksinya dengan peserta didik.
             4.     Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal maupun secara moral.
Dalam arti terbatas, pendidikan dapat merupakan salah satu proses interaksi belajar mengajar dalam bentuk formal yang dikenal sebagai pengajar (intructional). Gagne and Berliner (Abin Syamsuddin,1997) menjelaskan bahwa dalam konteks ini guru berperan, bertugas, dan bertanggung jawab sebagai:
1.      Perencana (planner) mempersiapkan apa yang akan dilakukan didalam proses pembelajaran.
2.      Pelaksana (organizer) menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaransesuai dengan rencana.
3.      Penilai (evaluator) menggumpulkan, menganalisi, menafsirkan, dan akhirnya harus membrikan pertimbangan atas tingkat keberhasilan pembelajaran .
Seorang guru berperan sebagai suri teladan, motivator, dan pengarah bagi peserta didik. Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara,bapak pendidikan nasional kita, ketiga peran itu berjalan dengan asas pengendalian pendidikan yang berbunyi;ing madyo mangun karso ing ngarso sung tulodo, tut wuri handayani. Teori belajar menjelaskan terutama bagi anak – anak proses belajar itu terjadi melalui proses imitative (peniruan). Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara guru harus menjalankan fugsinya sebagai “ing ngarso sung tulodo”(jika berada didepan jadi teladan). Sebagai motivator seorang guru senantiasa memberikan dorongan dan semangat pada siswa “ tut wuri handayani” (jika dibelakang memberi dorongan).
Yang terpenting bagi seorang guru adalah mengupayakan proses belajar yang menarik, merangsang motivasi belajar peserta didik, terutama munculnya motivasi intrinsiknya. Sebagai perencana dan organisator pelaksana PBM, guru harus berusaha menciptakan proses belajar yang mengugah motivasi belajar. Guru bukan menuntun peserta didik tetapi mengarahkan minat, harapan dan bakat mereka agar berkembang secara optimal. Ing madyo mangun karso (jika ditengah – tengah membangkitkan hasrat belajar peserta didik).
B.       OPERSIONALISASI PERAN GURU SEBAGAI PENDIDIK
1.        Pendidikan Sebagai Upaya Mematangkan siswa
Pendidikan adalah tercapainya kematangan fungsi dan struktur, baik fisik maupun psikis peserta didik sehingga menjadi dewasa atau memiliki tahap kematangan tinggi. Kematangan itu terjadi secara progresif, yaitu bentuk tingkah laku lebih baik dan normatife, terorganisasi, kompleks, stabil dan efisien, sesuai dengan tugas perkembangan individu (peserta didik). Para ahli membahas kedewasaan ini secara berbeda, freud mengemukakan bahwa yang dimaksud dewasa adalah mencapai kepribadian yang matang ditandai oleh:
1.    Bebas dari perasaan cemas yang tidak disadari.
2.    Mampu mencintai dan bekerja secara konstruktif.
3.    Mampu menjalankan hubungan yang sehat.
Menurut piaget (1961) dewasa artinya memperoleh struktur –struktur psikologis yang diperlukan agar individu dapat berfikir logis dan abstrak serta mengenal hal – hal atau situasi –situasi actual maupun hipotesis.
2.        Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Memanusiakan Manusia Secara Manusiawi
Pada hakikatnya , pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia secara manusiawi. pandangan ini mempradugakan akan adanya suatu pandangan tentang manusia sebagai makhluk yang dapat dididik (M.I. Sulaeman,1988:43). Inilah sesungguhnya yang membedakan antara manusia dengan makhluk tuhan lainnya.
Terbukti, Ketika bayi dilahirkan ia tidak berdaya menghadapi lingkungan. Jika lingkungan menghendaki ia mati, maka ia akan mati dan sebaliknya jika lingkungan kondusif baginya untuk jadi manusia ,maka ia akan jadi manusia. Bahkan jika lingkungan menghendaki ia jadi binatang, ia akan bersifat kebinatang – binatangan. Berbeda dengan hewan ; jika hewan diupayakan sekuat tenaga untuk menjadi manusia, ia tidak mungkin jadi manusia karena tidak memiliki potensi kemanusiaan, jadi potensi kemanusiaan (fitrah) inilah yang dikembangkan melalui pendidikan.
Seorang bayi perlu dididik dan dibesarkan oleh manusia dan dalam lingkungan manusia secara manusiawi agar memungkinkannya menjadi manusia. Proses pendidikan yang manusiawi tidak lain dari proses pendidikan yang dilandasi oleh nilai – nilai kemanusiaan dan tujuannya mengembangkan potensi kemanusiaan. Seorang pendidik tidak dapat menyerahkan sepenuhnya kepada anak dalam proses perkembangannya, jika pendidikan demikian adanya, maka anak hanya mengikuti dorongan dan instingnya saja.

3.        Pendidikan Dalam Lembaga Informal, Formal, Nonformal
a.        Pendidikan dalam lembaga informal (keluarga)
 Ketiga pusat pendidikan tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hasil pendidikan informal akan menjadi dasar bagi pendidikan formal, pendidikan formal mengembangkan dasar – dasar kemampuan yang didapatkan dalam pendidikan informal dan nonformal, pendidikan nonformal akan menjadi masukan bagi pendidikan formal dan informal.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama serta di lingkungan inilah anak pertama – tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diterimanya itu merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian selanjutnya. Pendidikan awal itu membekas dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya. Bahkan freud menyimpulkan bahwa kesulitan – kesulitan yang dialami seorang dimasa dewasanya dapat dilacak penyebabnya pada apa yang dialami anak masa kecil dan keluarganya. Begitu pentingnya pendidikan dalam keluarga, sampai Adler menegaskan bahwa pendidikan informal dari keluarga akan menjadi leitlinie, yaitu garis yang akan membimbing kehidupan anak.
Uraian ini mengimplikasikan pentingnya peran keluarga dalam mendidik anak. Secara sederhana ada 2 peran yang harus dilakukan keluarga. Penciptaan iklim keluarga yang sehat dan pemberian contoh teladan bagi anak. Menurut penelitian para ahli iklim keluarga yang cenderung mempengaruhi perkembangan anak secara terdidik adalah iklim keluarga yang memiliki suasana demokratis. Dalam suasana yang demokratis ini, orang tua harus menjadi teladan bagi anaknya.
Karakteristik pendidikan di lembaga informal ini tidak pernah diselengarakan secara khusus (dilembagakan). Metode pengajarannya tidak formal dan umumnya tidak diselengarakan pemerintah, kecuali oleh lembaga – lembaga sosial sebagai pengganti orang tua bagi anak – anak kurang beruntung (yatim piatu dan sebagainya).
b.        Pendidikan dalam Lembaga Formal (sekolah / madrasah)
Sekolah merupakan lembaga kedua bagi anak, yang disebut juga sebagai pendidikan formal sekolah / madrasah adalah satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang kekhususan tugasnya melaksanakan proses pendidikan. Secara formal tingkatannya terdiri dari: taman kanak – kanak, SD,SMP,SMA/SMK, dan pendidikan tinggi. Sekolah / madrasah memiliki empat komponen pokok,yaitu: (1) peserta didik, (2) guru, (3) kurikulum, (4) gedung serta sarana dan prasarana lainnya.
Menurut Abin Syamsudin (1997 :115) ada tiga faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu (1) raw inputs (peserta didik dengan segala karakteristiknya: minat, bakat, kemampuan, kebiasaan, dll); (2) instrumental inputs (masukan sarana : kurikulum, media guru, metode, dan sebagainya); dan (3) environmental inputs (masukan lingkungan: lingkungan sosial, budaya, dan sebagainya).
Pada umumnya lembaga pendidikan formal diselenggarakan oleh pemerintah, cirri pendidikan formal adalah selalu dibagi atas jenjang yang menunjukkan hubungan hierarkis, program pendidikan relatif lama, usia peserta didik relatif homogeny terutama dari sekolah / madrasah menengah kebawah, ada kurikulum yang dibakukan dari pemerintah, dan adanya ijazah pada akhir jenjang pendidikan tertentu.

c.         Pendidikan dalam Lembaga nonformal (dimayarakat)
Pendidikan diartikan sebagai upaya disengaja untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia didalam dan diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup. (M.I sulaeman,1985;246). Definisi ini paling tidak menunjukkan dua hal yang bertalian dengan konsep pendidikan. (1) pendidikan beresensi sebagai proses pengembangan kpribadian yaitu segenap aspek psikofisis manusia dan secara khusus sebagai proses pengembangan kemampuan, yang merupakan modal dasar manusia untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan dimana ia berada. (2) pendidikan dapat dilakukan disekolah / madrasah dan diluar sekolah madrasah, yang berlangsung sepanjang hayat.
Para ahli pendidikan menyebut pendidikan di masyarakat dengan istilah pendidikan nonformal, yaitu satuan sosial yang menyelenggarakan proses pendidikan dimasyarakat diluar sekolah / madrasah dan keluarga. Menurut M. I. Sulaeman (1985; 286- 273) yang termasuk lembaga pendidikan nonformal terdiri atas (1) organisasi kepemudaan seperti: karang taruna, ikatan remaja masjid, persatuan sepak bola, dll (2) kursus – kursus seperti: lembaga pendidikan komputer, kursus montir, kursus menjahit, dll. (3) paket pendidikan khusus dari pemerintah, seperti:  kejar paket A dan B ( yang isinya setara dengan pendidikan formal). Karateristik pendidikan nonformal pada umumnya tidak dibagi ats jenjang, program relative lebih singkat, usia tidak selalu sama, waktu terjadwal tetapi tidak seketat pendidikan formal, dapat diselengarakan oleh pihak pemerintah atau swasta, dan sebagainya.


No comments:

Post a Comment