Kegiatan belajar 1
HAKIKAT
PENDIDIKAN
Hakikat pendidikan
tidak akan terlepas dari hakikat manusia, sebab subjek utama pendidikan adalah
manusia. Pemahaman guru tentang manusia akan mempengaruhi pendekatan yang
digunakannya dalam melaksanakan misi tugas kependidikan sebagai guru. Implikasi
dari pandangan ini bahwa seorang guru harus memahami dan menguasai teori ilmu
yang mempelajari manusia (psikologi), teori ini akan menjelaskan fenomena,
prilaku manusia dan memberi makna atas fenomena perilaku tersebut.
Secara psikologis,
manusia diciptakan tuhan dengan segenap potensi, yang akan menjadi modal dasar
bagi perkembangannya. Potensi tidak akan berarti tanpa adanya upaya kondusif
dari lingkungan. Berbagai penelitian para ahli psikologi dan pendidikan menunjukkan
bahwa potensi bawaan dan lingkungan sama pentingnya dalam kehidupan manusia. Pendidikan
pada hakikatnya sebagai upaya pengembangan potensi individu secara optimal
dengan memberdayakan potensi lingkungan sebagai fasilitator terjadinya
perkembangan. Upaya ini memiliki tujuan yang jelas dan terarah, manusiawi,
normative, dan terjadi sepanjang hayat, baik dilingkungan keluarga,sekolah /
madrasah, maupun dimasyarakat.
Dalam menjalankan misi
tugasnya sebagai fasilitator terjadinya perkembangan optimal potensi individu, guru
memiliki peran yang sangat penting dan strategis, dalam konteks pendidikan yang
lebih luas maupun dalam konteks yang terbatas (konteks pengajaran). Peran guru
yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai motivator, suri teladan, dan pengarah
para peserta didik dan anggota masyarakat dalam menjalankan proses pendidikan.
Teori pendidikan dapat
diartikan sebagai pendapat sistematis untuk menerangkan dan menjelaskan
fenomena kehidupan (pamantung, 1988 : 2). Artinya fenomena kependidikan dapat
dijelaskan dan dimaknai oleh teori pendidikan. Karena objek utama pendidikan
adalah manusia, terutama fenomena prilakunya, untuk menjelaskan fenomena ini
diperlukan teori – teori ilmu yang mempelajari prilaku manusia atau psikologi.
A.
PSIKOLOGI
KOGNITIF
1.
Konsep
Dasar
Menurut teori ini pendidikan merupakan proses pengembangan
tahap demi tahap perkembangan kognitif individu.
Salah satu tokoh aliran kognitivisme yang paling
berpengaruh pada praktik pndidikan adalah jean piaget. Berdasarkan hasil penelitiannya,
piaget membagi proses perkembangan fungsi – fungsi dan prilaku kognitif kedalam
empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan memunculkan
karateristik yang berbeda-
beda.
Tahap perkembangan kognitif itu sebagai berikut:
a. Periode
sensori motor (0,0-2;0)
Ditandai dengan penggunaan sensor motorikPrestasi
yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang
objek, control skema, kerangka berfikir pembentukan pengertian, dan pengenalan
hubungan sebab akibat. prilaku kognitif yang tampak antara lain:
1) Menyadari
dirinya berbeda dari benda – benda lain di sekitarnya.
2) Sensitif
terhadap rangsangan suara dan cahaya.
3) Mencoba
bertahan pada pengalaman – pengalaman yang menarik.
4) Mendefinisikan
objek / benda dengan memanipulasinya
5) Mulai
memahami ketepatan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
b. Periode
praoperasional (2,0-7;0)
Periode
ini terbagi atas 2 tahapan, yaitu: prakonseptual (2;0 – 4,0) ditandai dengan
cara berfikir yang transduktif (menarik kesimpulan) tentang sesuatu yang khusus
atas dasar hal khusus. Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang
bersifat egosentris.
Prilaku
kognitif yang tampak antara lain:
1) Self – centered
dalam memandang dunianya.
2) Dapat
mengklasifikasikan objek - objek atas dasar satu ciri yang sama, mungkin pula
memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya.
3) Dapat
melakukan koleksi benda – benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu.
4) Dapat
menyusun benda – benda, tetapi belum menarik inferensi dari dua benda yang
tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
c. Periode
operasional konkret (7; 0 - 11atau 12;0)
Tiga
kemampuan dan kecakapan baru yang menandai periode ini adalah
mengklasifikasikan angka – angka atau bilangan. Prilaku kognitif yang tampak
pada periode ini ialah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan
kaidah – kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek – objek yang
bersifat konkret.
d. Periode
operasional formal (11; 0 atau 12;0 – 14 atau 15;0)
Periode
ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah – kaidah logika
formal yang tidak terikat lagi oleh objek – objek yang bersifat konkret.
Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
1) Kemampuan
berfikir hipotesis – deduktif.
2) Kemampuan
mengembangkan suatu kemungkinan.
3) Kemampuan
mengembangkan suatu proposi atas dasar propersi – proporsi yang diketahui.
4) Kemampuan
menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai kategori objek yang beragam.
2.
Implikasi
dalam pendidikan
Menurut piaget (William C Crain,1980:98) adalah
benar bahwa belajar tidak harus berpusat pada guru, tetapi anak harus lebih
aktif. Kesadaran anak akan keterlibatannya dalam proses pembelajaran perlu
diarahkan guru.
Teori piaget juga mengisyaratkan bahwa kemampuan
berpikir anak dengan orang dewasa itu berbeda . implikasinya bahwa sekuensi
(urutan) bahan pembelajaran dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian
utama. Anak akan sulit memahami bahan pelajaran jika sekuensi bahan pelajaran
itu meloncat – loncat. Implikasi dan teori piaget lainnya bahwa dalam proses
pembelajaran, guru harus memperhatikan tahapan perkembangan kognitif peserta
didik. Materi yang dirancang sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif itu
dan harus meransang kemampuan berpikir mereka.
Tahap kemampuan berpikir sensori motorik
mengimplikasikan bahwa proses belajar harus mencapai kerangka dasar kemampuan
berbahasa, hubungan tentang objek, kontrol skema, kerangka berpikir,
pembentukan pengertian, dan pengenalan hubungan sebab akibat. Ini berarti bahwa
orang tua atau lingkungan harus memberikan rangsangan yang banyak terhadap
bayi. Tahap kemampuan berpikir praoperasional ditandai dengan berpikir anak
yang bersifat egosentris – simbolis. Implikasi dalam proses belajarnya ialah
belajar harus berpusat pada anak karena anak melihat sesuatu berdasarkan
dirinya sendiri, metode yang paling tepat adalah metode bermain.tahapan
perkembangan berpikir praoperasional ini terutama terjadi pada anak usia TK.
Tahap kemampuan berpikir operasional konkret ditandai
oleh kemampuan anak untuk mengoperasikan kaidah – kaidah logika, meskipun masih
terikat oleh objek – objek bersifat konkret. Tahap ini umumnya dialami anak SD.
Tahap kemampuan berfikir formal mengimplikasikan bahwa anak melalui proses
belajar mengajar harus mampu menemukan sendiri, memecahkan masalah sendiri,
bahkan berpikir menurut konsep sendiri. Mencari dan menemukan (inquiri -
discovery), metode logika yang tinggi ini sudah bisa digunakan dalam proses
belajar mengajar.
B.
PSIKOLOGI
HUMANISME
1.
Konsep
Dasar
Aliran
ini antara lain Maslow dan Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969).
aliran psikologi humanisme ini memandang bahwa prilaku manusia itu ditentukan
oleh dirinya sendiri, oleh faktor internal dirinya dan bukan oleh lingkungan
ataupun pengetahuan. Dalam istilah William C. Crain (1980:4) paham ini disebut
dengan istilah preformasinisme.
Aliran ini didasari oleh teori kebutuhan dan perkembangan motivasi tokoh
psikologi
Menurut aliran humanisme, aktualisasi ini merupakan
puncak perkembangan individu. Aliran humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar
harus datang dari dalam diri individu. Menurut aliran ini proses belajar yang
bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan
merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik.
Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969)
mengemukakan prinsip – prinsip belajar sbb:
a. Manusia
mempunyai dorongan alamiah untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan
eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru.
b. Belajar
akan bermakna apabila materi yang dipelajari relevan dengan kebutuhan anak.
c. Belajar
harus diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman eksternal.
d. Belajar
atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik faktor
internal maupun personal.
e. Sikap
mandiri, kreativita, dan percaya diri diperkuat dengan penilaian atas diri
sendiri.
2.
Implikasi
dalam pendidikan
Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar
mengimplikasikan perlunya penataan peran dan prioritas pendidikan. Menurut
pandangan ini guru lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar
belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai pusat proses pembelajaran, tetapi
yang terpenting adalah menfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara
instrinsik pada diri peserta didik. Proses pembelajaran lebih diarahkan kepada
perkembangan kognitif, afektif, ataupun psikomotorik peserta didik, daripada
penekanan pada aspek isi dan informasi yang dipelajari. Menurut roopnanire dan
Johnson (1993), pendekatan yang sangat bermakna ialah pendekatan nonakademik.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan berarti ia
harus pasif, akan tetapi justru harus berperan aktif dalam suatu proses
pembelajaran. Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969) menegaskan
bahwa dalam proses pembelajaran, guru berperan aktif dalam hal:
a. Membantu
menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap pembelajaran.
b. Membantu
peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar.
c. Membantu
peserta didik mengembangkan dorongan dengan tujuannya sebagai kekuatan
pembelajaran.
d. Menyediakan
sumber – sumber belajar.
Belajar bermakna akan terjadi relevan dengan
kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik, dan kurikulum yang tidak
kaku. Kejadian belajar bermkna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan
peserta didik tentang bidang studi tertentu.
Untuk terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya
belajar bermakna, Rogers (Anthony j. sutich dan miles A vich, 1969)
menyarankan:
a. Terimalah
peserta didik apa adanya.
b. Kenali
dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri.
c. Usahakan
sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memilih
dan menggunakannya.
d. Gunakan
pendekatan inquiry – discovery
e. Tekankan
pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik menggambil tanggung
jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya.
C. PSIKOLOGI BEHAVIORISTIS
1.
Konsep
Dasar
Tokoh aliran ini antara lain thorndike,B.F, skinner
dan J.B Watson (William C Crain, 1980), paham aliran ini memandang perilaku
manusia sebagai hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan.. Pendidikan
dianggap sebagai pembentukan perilaku manusia.
Perilaku menurut pendekatan ini adalah hal – hal
yang berubah dan dapat diamati. Perilaku terbentuk dengan adanya ikatan
asosiatif antara stimulus dan respons (S - R). menurut aliran ini belajar akan
menampakan hasil yang dapat diamati dan diukur. Belajar itu sendiri dimodifikasi oleh
lingkungan. Proses belajar terjadi dengan adanya tiga komponen pokok, yaitu;
stimulus, respon, dan akibat.
Reinforcement
(penguatan)
menjadi prinsip utama dalam memperkuat lekatnya hasil belajar pada diri
individu. Akan tetapi ketika memberikan penguatan harus diwaspadai yang disebut
dengan tricky matter, yaitu proses
pemberian penguatan yang keliru, tidak sesuai dengan tujuan utama penguatan itu
sendiri.
2.
Implikasi
dalam pendidikan
Proses pembelajaran yang berpegang teguh pada
prinsip dan pemahaman aliran behaviorisme menekankan pentingnya keterampilan
dan pengetahuan akademik maupun perilaku sosial sebagai hasil belajar.
Pendekatan yang digunakan dalam proses belajar adalah pendekatan akademik, yang
menekankan pada penguasaan secara tuntas (mastery)
terhadap apa – apa yang dipelajari. Tujuan pendidikan ditentukan oleh guru
sebagai lingkungan, sehingga bersifat eksternal.
Hasil belajar akan lebih bermakna jika prosesnya
menyenangkan peserta didik dan terjadi penguatan (reinforcement) . menurut William C Crain (1980:9) guru, orang tua,
dan pendidik harus memberikan penguatan terutama yang bersifat psikologis dan menghindari
penguatan yang lebih bersifat kebendaan. Sedangkan penghargaan (rewards) seharusnya diberikan hanya kepada perilaku yang masuk akal
(reasonable) dan tidak bersifat
memanjakan. Hindari hukuman (punishment)
yang bersifat fisik. Kurikulum yang berorientasi pada aliran behaviorisme harus
sudah menggambarkan perincian tentang apa – apa yang hendak disajikan kepada
peserta didik.
Kegiatan
Belajar 2
PERAN,
TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB
GURU
SEBAGAI PENDIDIK DAN PENGAJAR
A.
Guru
Sebagai Pendidik dan Pengajar
Abin
syamsudin (1997 : 18) membedakan peranan, tugas, dan tanggung jawab guru
sebagai pendidik (educator) dengan
pengajar (teacher). Dalam arti yang
luas, guru dikatakannya sebagai pendidik. Konsep pendidik mencakup seluruh
proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik
secara formal, nonformal, maupun informal, dalam rangka mewujudkan dirinya
sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal sehingga mencapai
suatu tahap kedewasaan. Dalam konteks ini, seorang guru bertugas dan berperan
sebagai:
1. Konservator
(pemelihara)
sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan innovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan.
2. Transmitor (penerus) sistem
– sistem nilai tersebut kepada peserta didik.
3. Transformator (penerjemah)
sistem – sistem nilai melalui penjelmaan dalam pribadi dan prilakunya melalui
proses interaksinya dengan peserta didik.
4. Organisator (penyelenggara)
terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
formal maupun secara moral.
Dalam
arti terbatas, pendidikan dapat merupakan salah satu proses interaksi belajar
mengajar dalam bentuk formal yang dikenal sebagai pengajar (intructional).
Gagne and Berliner (Abin Syamsuddin,1997) menjelaskan bahwa dalam konteks ini
guru berperan, bertugas, dan bertanggung jawab sebagai:
1. Perencana
(planner) mempersiapkan apa yang akan
dilakukan didalam proses pembelajaran.
2. Pelaksana
(organizer) menciptakan situasi,
memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaransesuai
dengan rencana.
3. Penilai
(evaluator) menggumpulkan,
menganalisi, menafsirkan, dan akhirnya harus membrikan pertimbangan atas
tingkat keberhasilan pembelajaran .
Seorang guru berperan sebagai suri teladan,
motivator, dan pengarah bagi peserta didik. Dalam bahasa Ki Hajar
Dewantara,bapak pendidikan nasional kita, ketiga peran itu berjalan dengan asas
pengendalian pendidikan yang berbunyi;ing
madyo mangun karso ing ngarso sung tulodo, tut wuri handayani. Teori
belajar menjelaskan terutama bagi anak – anak proses belajar itu terjadi
melalui proses imitative (peniruan). Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara guru harus
menjalankan fugsinya sebagai “ing ngarso
sung tulodo”(jika berada didepan jadi teladan). Sebagai motivator seorang
guru senantiasa memberikan dorongan dan semangat pada siswa “ tut wuri
handayani” (jika dibelakang memberi dorongan).
Yang terpenting bagi seorang guru adalah
mengupayakan proses belajar yang menarik, merangsang motivasi belajar peserta
didik, terutama munculnya motivasi intrinsiknya. Sebagai perencana dan
organisator pelaksana PBM, guru harus berusaha menciptakan proses belajar yang
mengugah motivasi belajar. Guru bukan menuntun peserta didik tetapi mengarahkan
minat, harapan dan bakat mereka agar berkembang secara optimal. Ing madyo mangun karso (jika ditengah –
tengah membangkitkan hasrat belajar peserta didik).
B.
OPERSIONALISASI
PERAN GURU SEBAGAI PENDIDIK
1.
Pendidikan
Sebagai Upaya Mematangkan siswa
Pendidikan
adalah tercapainya kematangan fungsi dan struktur, baik fisik maupun psikis
peserta didik sehingga menjadi dewasa atau memiliki tahap kematangan tinggi. Kematangan
itu terjadi secara progresif, yaitu bentuk tingkah laku lebih baik dan
normatife, terorganisasi, kompleks, stabil dan efisien, sesuai dengan tugas perkembangan
individu (peserta didik). Para ahli membahas kedewasaan ini secara berbeda, freud mengemukakan bahwa yang dimaksud
dewasa adalah mencapai kepribadian yang matang ditandai oleh:
1. Bebas
dari perasaan cemas yang tidak disadari.
2. Mampu
mencintai dan bekerja secara konstruktif.
3. Mampu
menjalankan hubungan yang sehat.
Menurut
piaget (1961) dewasa artinya memperoleh struktur –struktur psikologis yang
diperlukan agar individu dapat berfikir logis dan abstrak serta mengenal hal –
hal atau situasi –situasi actual maupun hipotesis.
2.
Pendidikan
Sebagai Upaya Untuk Memanusiakan Manusia Secara Manusiawi
Pada hakikatnya , pendidikan merupakan upaya
memanusiakan manusia secara manusiawi. pandangan ini mempradugakan akan adanya suatu
pandangan tentang manusia sebagai makhluk yang dapat dididik (M.I.
Sulaeman,1988:43). Inilah sesungguhnya yang membedakan antara manusia dengan
makhluk tuhan lainnya.
Terbukti, Ketika bayi dilahirkan ia tidak berdaya
menghadapi lingkungan. Jika lingkungan menghendaki ia mati, maka ia akan mati
dan sebaliknya jika lingkungan kondusif baginya untuk jadi manusia ,maka ia
akan jadi manusia. Bahkan jika lingkungan menghendaki ia jadi binatang, ia akan
bersifat kebinatang – binatangan. Berbeda dengan hewan ; jika hewan diupayakan
sekuat tenaga untuk menjadi manusia, ia tidak mungkin jadi manusia karena tidak
memiliki potensi kemanusiaan, jadi potensi kemanusiaan (fitrah) inilah yang
dikembangkan melalui pendidikan.
Seorang bayi perlu dididik dan dibesarkan oleh
manusia dan dalam lingkungan manusia secara manusiawi agar memungkinkannya
menjadi manusia. Proses pendidikan yang manusiawi tidak lain dari proses
pendidikan yang dilandasi oleh nilai – nilai kemanusiaan dan tujuannya
mengembangkan potensi kemanusiaan. Seorang pendidik tidak dapat menyerahkan
sepenuhnya kepada anak dalam proses perkembangannya, jika pendidikan demikian
adanya, maka anak hanya mengikuti dorongan dan instingnya saja.
3.
Pendidikan
Dalam Lembaga Informal, Formal, Nonformal
a.
Pendidikan dalam lembaga informal
(keluarga)
Ketiga pusat
pendidikan tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hasil pendidikan
informal akan menjadi dasar bagi pendidikan formal, pendidikan formal
mengembangkan dasar – dasar kemampuan yang didapatkan dalam pendidikan informal
dan nonformal, pendidikan nonformal akan menjadi masukan bagi pendidikan formal
dan informal.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama
serta di lingkungan inilah anak pertama – tama menerima pendidikan, dan
pendidikan yang diterimanya itu merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian
selanjutnya. Pendidikan awal itu membekas dalam diri anak dan mewarnai
kehidupannya. Bahkan freud menyimpulkan
bahwa kesulitan – kesulitan yang dialami seorang dimasa dewasanya dapat dilacak
penyebabnya pada apa yang dialami anak masa kecil dan keluarganya. Begitu
pentingnya pendidikan dalam keluarga, sampai Adler menegaskan bahwa pendidikan informal dari keluarga akan
menjadi leitlinie, yaitu garis yang akan membimbing kehidupan anak.
Uraian ini mengimplikasikan pentingnya peran
keluarga dalam mendidik anak. Secara sederhana ada 2 peran yang harus dilakukan
keluarga. Penciptaan iklim keluarga yang sehat dan pemberian contoh teladan
bagi anak. Menurut penelitian para ahli iklim keluarga yang cenderung
mempengaruhi perkembangan anak secara terdidik adalah iklim keluarga yang
memiliki suasana demokratis. Dalam suasana yang demokratis ini, orang tua harus
menjadi teladan bagi anaknya.
Karakteristik pendidikan di lembaga informal ini
tidak pernah diselengarakan secara khusus (dilembagakan). Metode pengajarannya
tidak formal dan umumnya tidak diselengarakan pemerintah, kecuali oleh lembaga
– lembaga sosial sebagai pengganti orang tua bagi anak – anak kurang beruntung
(yatim piatu dan sebagainya).
b.
Pendidikan dalam Lembaga Formal
(sekolah / madrasah)
Sekolah merupakan lembaga kedua bagi anak, yang
disebut juga sebagai pendidikan formal sekolah / madrasah adalah satuan (unit)
sosial atau lembaga sosial yang kekhususan tugasnya melaksanakan proses pendidikan.
Secara formal tingkatannya terdiri dari: taman kanak – kanak, SD,SMP,SMA/SMK,
dan pendidikan tinggi. Sekolah / madrasah memiliki empat komponen pokok,yaitu:
(1) peserta didik, (2) guru, (3) kurikulum, (4) gedung serta sarana dan
prasarana lainnya.
Menurut Abin Syamsudin (1997 :115) ada tiga faktor
yang mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu (1) raw inputs (peserta didik dengan segala karakteristiknya: minat,
bakat, kemampuan, kebiasaan, dll); (2) instrumental
inputs (masukan sarana : kurikulum, media guru, metode, dan sebagainya);
dan (3) environmental inputs (masukan lingkungan: lingkungan
sosial, budaya, dan sebagainya).
Pada umumnya lembaga pendidikan formal
diselenggarakan oleh pemerintah, cirri pendidikan formal adalah selalu dibagi
atas jenjang yang menunjukkan hubungan hierarkis, program pendidikan relatif
lama, usia peserta didik relatif homogeny terutama dari sekolah / madrasah
menengah kebawah, ada kurikulum yang dibakukan dari pemerintah, dan adanya
ijazah pada akhir jenjang pendidikan tertentu.
c.
Pendidikan dalam Lembaga nonformal
(dimayarakat)
Pendidikan diartikan sebagai upaya disengaja untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia didalam dan diluar sekolah yang
berlangsung seumur hidup. (M.I sulaeman,1985;246). Definisi ini paling tidak
menunjukkan dua hal yang bertalian dengan konsep pendidikan. (1) pendidikan
beresensi sebagai proses pengembangan kpribadian yaitu segenap aspek psikofisis
manusia dan secara khusus sebagai proses pengembangan kemampuan, yang merupakan
modal dasar manusia untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan dimana ia
berada. (2) pendidikan dapat dilakukan disekolah / madrasah dan diluar sekolah
madrasah, yang berlangsung sepanjang hayat.
Para ahli pendidikan menyebut pendidikan di
masyarakat dengan istilah pendidikan nonformal, yaitu satuan sosial yang
menyelenggarakan proses pendidikan dimasyarakat diluar sekolah / madrasah dan
keluarga. Menurut M. I. Sulaeman (1985; 286- 273) yang termasuk lembaga
pendidikan nonformal terdiri atas (1) organisasi kepemudaan seperti: karang
taruna, ikatan remaja masjid, persatuan sepak bola, dll (2) kursus – kursus
seperti: lembaga pendidikan komputer, kursus montir, kursus menjahit, dll. (3)
paket pendidikan khusus dari pemerintah, seperti: kejar paket A dan B ( yang isinya setara
dengan pendidikan formal). Karateristik pendidikan nonformal pada umumnya tidak
dibagi ats jenjang, program relative lebih singkat, usia tidak selalu sama,
waktu terjadwal tetapi tidak seketat pendidikan formal, dapat diselengarakan
oleh pihak pemerintah atau swasta, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment